JASA BADAL HAJI 1437 H TERPERCAYA | BADAL HAJI 2016 TERPERCAYA SURABAYA | BADAL HAJI 2016 MURAH

Layanan Badal Haji, Daftar Badal Haji, Badal Haji Amanah, Jasa badal haji surabaya, Jasa Badal Haji Murah, BAdal Haji Murah Surabaya, Badal Haji Murah
Layanan Badal Haji, Daftar Badal Haji, Badal Haji Amanah, Jasa badal haji surabaya, Jasa Badal Haji Murah, BAdal Haji Murah Surabaya, Badal Haji Murah

Anda sedang mencari perwakilan untuk membadalkan Haji Orang Tua Anda?
Alhamdulillah Anda sedang membuka website yang tepat, perkenalkan kami adalah Travel Umroh dan Haji Mabrur Mandiri NDW Surabaya, merupakan Travel Umroh dan Haji yang berlokasi di Surabaya.

Tahun Haji 1437 H ini, Mabrur Mandiri menyediakan pelayanan Badal Haji untuk Bapak/Ibu yang membutuhkan :

KEUNGGULAN BADAL HAJI 1437 H di MABRUR MANDIRI NDW :

Bila Bapak/Ibu tertarik dan ingin mendaftarkan orang tuanya bisa menghubungi nomor-nomor yang ada di bawah ini :

HOTLINE : 0822 3135 3711 | 0851 0292 2772
Pin BB : 58366EE0
Whatsapp : 081331810122

HEAD OFFICE
MABRUR MANDIRI :
City of Tomorrow (CITO) Mall
Ground Floor GE 11 (Samping Lobby B)
Jl. A Yani 288 Surabaya
Telp. (031) 828 7904, 0851 0292 2772

 


PENGERTIAN BADAL HAJI

Bagi yang masih memiliki kebingungan atau keraguan dalam masalah badal haji, berikut kami berikan tanya jawab seputar Badal Haji yang sering dipermasalahkan. Semoga bisa menjawab pertanyaan Bapak/Ibu seputar pengertian Badal Haji, Rukun Badal Haji, Kewajiban Badal Haji

Tanya:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Semoga Allah SWT selalu memberikan perlindungan dan keberkahannya kepada ustadz sekeluarga. Mohon kiranya ustadz menjelaskan tiga pertanyaan saya berikut ini :

1. Apa dasar hukum dari haji untuk orang lain atau badal haji?
2. Apa saja syarat-syarat yang harus terpenuhi pada diri orang yang dihajikan?
3. Dan apa saja syarat-syarat buat orang yang menghajikan untuk orang lain?

Demikian pertanyaan saya dan terima kasih.

Wassalam

Jawab:

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Istilah badal haji punya istilah yang lebih baku dalam ilmu fiqih, yaitu al-hajju ‘anil ghair. Maknanya adalah berhaji untuk orang lain. Intinya seseorang mengerjakan ibadah haji bukan untuk dirinya tetapi untuk orang lain.

Untuk itu ada beberapa syarat dan ketentuan, baik terkait dengan yang menghajikan dan yang dihajikan.

1. Dasar Hukum Badal Haji

Berhaji dengan niat untuk orang lain ini didasarkan kepada beberapa hadits Rasulullah SAW, diantaranya hadits seorang wanita dari suku Khasy’am yang bertanya kepada beliau SAW tentang Ayahnya yang masih hidup namun sudah sangat sepuh dan tidak mampu berangkat haji :

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لا يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ وَذَلِكَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ

Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban dari Allah untuk berhajji bagi hamba-hambaNya datang saat bapakku sudah tua renta dan dia tidak akan kuat menempuh perjalanannya. Apakah aku boleh menghajjikan atas namanya?. Beliau menjawab: Boleh. Peristiwa ini terjadi ketika hajji wada’ (perpisahan). (HR. Bukhari)

Selain itu juga hadits lain yang senada, yang meriwayatkan tentang seorang wanita dari suku Juhainah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang ibunya yang sewaktu masih hidup pernah bernadzar untuk berangkat haji namun belum kesampaian sudah wafat.

إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ وَلَمْ تَحُجّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنَ أَكُنْتِ قَاضِيْتُهُ؟ اقْضُوا اللهَ فاللهُ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ

“Ibu saya pernah bernadzar untuk mengerjakan haji, namun belum sempat mengerjakannya beliau meninggal dunia. Apakah saya boleh mengerjakan haji untuk beliau?”. Rasulullah SAW menjawab,”Ya, kerjakan ibadah haji untuk beliau. Tidakkah kamu tahu bahwa bila ibumu punya hutang, bukankah kamu akan melunasinya?”. Lunasilah hutang ibumu kepada Allah, karena hutang kepada Allah harus lebih diutamakan. (HR. Bukhari)

2. Syarat Bagi Orang Yang Dihajikan

Kalau kita bicara tentang syarat yang harus terpenuhi pada diri orang yang minta dihajikan, setidaknya ada dua syarat. Pertama, orang itu sudah memenuhi syarat kewajiban haji. Kedua, orang itu mengalami al-ajzu.

a. Cukup Syarat Kewajiban Haji

Syarat yang paling utama adalah sudah tercukupinya kewajiban haji atas dirinya, seperti beragama Islam, aqil, baligh, merdeka dan punya harta yang dapat membiayai semua perjalanan ibadah hajinya.

Maka seorang yang bukan beragama Islam ketika masih hidupnya dan mati dalam keadaan bukan muslim, dia tidak boleh dihajikan oleh keluarganya yang muslim. Sebab orang itu pada dasarnya memang bukan termasuk mereka yang dibebani untuk mengerjakan ibadah haji.

Demikian pula halnya dengan anak kecil yang meninggalkan dunia, orang tuanya tidak perlu menghajikannya, karena pada dasarnya anak kecil memang belum diwajibkan untuk mengerjakan haji.

Orang gila yang tidak waras juga bukan termasuk orang yang wajib mengerjakan ibadah haji, maka keluarganya tidak perlu menghajikannya.

b. Al-’Ajzu

Orang yang cukup syarat wajib haji atas dirinya bisa saja mengalami al-ajzu, yaitu ketidak-mampuan secara fisik untuk berangkat sendiri dan mengerjakannya ibadah haji sendiri. Bisa saja karena sakit atau karena didahului oleh kematian. Para ulama mengistilahkannya dengan sebutan al-’ajzu (kelemahan).

Maka orang yang sehat dan mampu untuk berangkat sendiri ke tanah suci, tidak boleh meminta orang lain untuk mengerjakan seluruh rangkaian ibadah haji untuk dirinya, lalu dia duduk manis di rumahnya sambil nonton TV dan makan-makan.

3. Syarat Orang Yang Menjadi Badal (Berhaji Untuk Orang Lain)

a. Terpenuhi Syarat Sah Haji Bagi Dirinya

Sebagaimana sudah dijabarkan pada bab-bab sebelum, bahwa yang termasuk ke dalam syarat-syarat sah haji adalah beragama Islam dan berakal. Dan khusus buat para wanita, syaratnya harus ada izin dari suami atau mahram serta tidak sedang dalam masa iddah.

b. Sudah Pernah Berhaji

Orang yang akan menjadi badal atau berhaji untuk orang lain itu disyaratkan harus sudah pernah sebelumnya mengerjakan ibadah haji yang hukumnya wajib, yaitu haji wajib untuk dirinya sendiri.

Dasarnya adalah hadits berikut :

حُجّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجّ عَنْ شُبْرُمَة

Lakukan dulu haji untuk dirimu baru kemudian berhajilah untuk Syubrumah. (HR. Bukhari)

Kisahnya adalah ketika Rasulullah SAW mendengar seseorang yang mengerjakan haji dengan niat untuk orang lain. Orang itu mengucapkan : labbaika an Syubrumah. Maksudnya dia melafazkan niat haji dengan mengucapkan bahwa Aku mendengar panggilan-Mu atas nama Syubrumah.

Rasulullah SAW kemudian bertanya,”Siapa Syubrumah?”. Orang itu menjawab bahwa Syubrumah adalah saudaranya atau familinya. Lalu Rasullah SAW bertanya lagi,”Apakah kamu sudah pernah berhaji untuk dirimu sendiri”?. Orang itu menjawab,”Belum”. Maka Rasulullah SAW menegaskan bahwa orang itu harus berhaji untuk dirinya sendiri dulu, baru setelah untuk orang lain.

Para ulama menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan berhaji untuk dirinya sendiri adalah haji Islam atau haji yang hukumnya wajib. Atau dengan kata lain bahwa orang itu harus sudah menggugurkan kewajibannya untuk mengerjakan ibadah haji sebagai mukallaf, baru setelah itu dia boleh mengerjakan haji untuk orang lain yang hukumnya sunnah.

Dan hal itu hanya terjadi ketika seseorang sudah berusia baligh. Sebab haji yang dilakukan oleh seorang anak kecil yang belum baligh, meski pun hukumnya sah, namun nilainya hanya sekedar menjadi haji yang hukumnya sunnah. Belum lagi menjadi haji yang wajib hukumnya.

Maka kalau orang itu pernah haji sekali saja tetapi masih usia kanak-kanak, dia masih belum boleh melakukan haji untuk orang lain, karena belum cukup syaratnya.

3. Yang Dihajikan Meninggal Dalam Keadaan Muslim

Syarat kedua adalah apabila yang dihajikan itu orang yang telah meninggal dunia, syaratnya bahwa dia adalah seorang muslim, minimal pada saat terakhir dari detik-detik kehidupannya.

Sebab orang yang matinya bukan dalam keadaan iman dan berislam, maka haram hukumnya untuk didoakan, termasuk juga haram untuk dihajikan.

Dasarnya secara umum adalah ayat Al-Quran yang mengharamkan kita umat Islam untuk mendoakan jenazah orang kafir atau memintakan ampunan.

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُواْ أُوْلِي قُرْبَى مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.(QS. At-Taubah : 113)

Adapun apakah orang itu pernah mengerjakan dosa, maksiat atau hal-hal yang kita tidak tahu kedudukannya, tentu tidak bisa dijadikan dasar untuk melarangnya. Satu-satu halangan untuk menghajikannya adalah bila orang itu benar-benar telah jelas berstatus bukan muslim secara formal dan sah.

4. Orang Yang Dihajikan Benar-benar Tidak Mampu

Dimungkinkan juga mengerjakan haji untuk orang yang belum meninggal dunia dan masih hidup. Maka kalau orang yang dihajikan itu masih hidup, syaratnya selain dia harus berstatus muslim, dia adalah orang yang benar-benar tidak mampu untuk mengerjakan rangkaian ibadah haji secara fisik.

Yang dimaksud dengan ketidak-mampuan itu bukan dari segi finansial, tetapi karena usianya yang sudah sangat tua dan menyulitkan dirinya, atau pun karena faktor kesehatan yang kurang mengizinkan dan sulit diharapkan untuk mendapatkan kesembuhan dalam waktu dekat.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Direktur Rumah Fiqh Indonesia (rumahfiqh.com)

Open chat
1
Klik Tombolnya Lagi
Call Now Button